Jumat, 18 November 2011

MBAH SIHU DAN MBAH SURIP

Saat aku kecil, ada dua "tokoh istimewa" di mata masyarakat daerahku. Mereka adalah mbah Sihu dan mbah Surip (mirip almarhum penyanyi). Sebagian orang percaya bahwa mereka adalah tokoh spiritual, waliyullah, sehingga sikap dan perilakunya berbeda dari orang kebanyakan.
Mbah Sihu, hidup sendirian di sebuah pondok, rumah kayu, yang berada di sisi selatan halaman masjid Selosari. Secara pasti aku tidak tahu apa saja yang dilakukan mbah Sihu di sana. Setiap kali jum'atan ke masjid itu, aku selalu melihat dia duduk sendiri di gandok, emperan masjid sebelah selatan. Aku tidak pernah melihat dia duduk ataupun shalat bersama barisan jama'ah lainnya.
Meski demikian, banyak orang bilang bahwa mbah Sihu yang sebenarnya tidak shalat di tempat itu. Sekalipun orangnya ada di hadapanku di masjid itu, tetapi konon mbah Sihu sebenarnya shalat Jum'at di Masjidil Haram, Makkah. 
Tentu saja aku bingung dengan cerita itu, tetapi tak pernah sekalipun ada yang memberikan konfirmasi apakah itu benar atau hanya cerita kiasan saja. Di mataku, mbah Sihu ada di masjid Selosari, bukan di Makkah. Dia bahkan tidak jarang memarahi anak-anak seusiaku yang ramai saat khutbah dibacakan.
Yang aneh, orang-orang yang pulang haji banyak yang bercerita, bahwa mereka bertemu mbah Sihu saat mereka berhaji. Entah benar atau tidak, setiap kali diajak orang tua berziarah ke rumah orang yang baru pulang haji, beberapa kali aku mendengar cerita yang sama.
Yang aku ingat lagi dari mbah Sihu, dia sering jalan lewat depan rumahku dengan membawa tongkat panjang kira-kira setinggi tubuhnya. Dia sering mampi ke rumah, sekedar bercakap-cakap dengan orang tuaku, juga orang-orang yang kebetulan sedang dia temui. Dia cukup dihormati orang di daerahku, dan setiap kali bertemu dia, biasanya orang bertanya tentang nasib, ramalan masa depan, dan minta didoakan. Setelah menjawab pertanyaan orang, biasanya dia berdo'a sambil berdiri kemudian berlalu begitu saja.
Ramalan mbah Sihu biasanya tidak terlalu ditanggapi serius orang kebanyakan orang, tetapi dia selalu ditanya tentang ramalan masa depan. Mbah Sihu sendiri selalu menjawab dengan sanepo, kiasan yang tak pernah mudah dipahami orang. 
Menjelang tutup usia, dia bilang agar semua berhati-hati, sebab sebentar lagi nyawa manusia tidak lebih berharga dari pada binatang. Orang baru mengerti setelah beberapa tahun kemudian terjadi beberapa kali kasus "petrus" atau pembunuhan misterius. Banyak orang ditemukan mati di pinggir jalan tanpa ada yang tahu mengapa, dan siapa yang membunuhnya.   
Lain halnya dengan mbah Sihu, mbah Surip juga sering disebut wali oleh sebagian orang. Aku tidak tahu persis di mana mbah Surip tinggal. Yang jelas, dia sering lewat di jalan depan rumahku, bahkan tidak jarang mampir ke rumah untuk makan.
Seperti mbah Sihu, orang tua itu begitu baik pada kedua orang tuaku. Dia juga sering mampir ke rumahku. Meski usianya sudah cukup tua, tingkah mbah Surip seperti anak kecil. Seringkali berjalan sambil mengalungkan sarung di lehernya. Kadang dia hanya bercelana kolor dan melepas bajunya saat berjalan di depan rumahku, biasanya kalau sedang ngambek.
Anak-anak mudah memang sering menggoda lelaki tua itu dengan cuyu, kepiting sungai yang banyak dijumpai di sungai kecil di depan rumah. Apalagi mbah Surip paling takut sama cuyu. Mbah Surip pasti lari terbirit-birit bila dibawakan cuyu. Sesaat kemudian, dia akan balik lagi dengan membawa potongan batu bata atau bambu untuk dilemparkan pada anak-anak yang menggodanya.
Yang unik dari mbah Surip, dia selalu jadi orang pertama yang datang ke rumah orang mati. Tidak jelas bagaimana informasinya, dia selalu ada di rumah orang yang keluarganya sedang meninggal dunia. Kalau ada keluarga ibuku yang sakit atau meninggal, dia pasti sudah berteriak-teriak di depan rumah. "Ni..., ni... mbae ati..." Kalau sudah begitu, orang tuaku pasti mencari tahu ke sanak saudara, sebab itu menjadi pertanda ada keluarga ibuku entah di Madiun atau di luar kota yang sedang sakit atau meninggal dunia.
Sebagaimana mbah Sihu, banyak orang yang naik haji bilang bahwa mereka bertemu mbah Surip saat berhaji. Dia membantu orang-orang kampung yang mendapat musibah saat berhaji. Termasuk di antara orang yang mengaku pernah ditolong mbah Surip adalah mbah Kakung, kakekku. Dia bilang bahwa waktu berhaji  sempat terpeleset jatuh di masjid. Dia tidak bisa berdiri sampai mbah Surip datang menolongnya. Wallahu A'lam.   
Sebagian orang tua menceritakan kalau mbah Surip bersikap begitu karena perjuangan masa perang. Dia menjadi gagap dan bersikap kenaka-kanakan dengan tujuan agar tidak mudah diintrogasi Jepang atau Belanda. Ada juga yang bilang, dia begitu karena dia tahu rahasia ilahi. Allah menjadikannya gagap dan kekanak-kanakan agar tidak membongkar rahasia ilahi di hadapan manusia.
Terlepas apakah mereka wali atau bukan, apakah mereka punya kemampuan spiritual atau tidak, bagiku mereka menjadi tokoh yang istimewa yang mewarnai masa kecilku. Mereka begitu baik padaku dan keluargaku hingga akhir hayatnya.

3 komentar:

  1. Rumah sampean waktu itu di sebelah mana, di prambon juga?

    BalasHapus
  2. Ya Prambon. Pertigaan ke Selosari. Barat pertigaan rumah ortu, timur pertigaan rumah mbah Sanah/pak Joyo

    BalasHapus